CONTOH PAPER BIOKIMIA
PENGARUH KAFEIN PADA KOPI TERHADAP
PENINGKATAN
ENERGI DALAM TUBUH
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Kopi (Coffea sp.) merupakan salah satu
minuman yang tersebar luas dan termasuk minuman yang mayoritas banyak diminum
di dunia. Di Indonesia Kopi dikonsumsi oleh orang dewasa dan remaja. Pada
umunnya, kopi dikonsumsi dengan tujuan meningkatkan kewaspadaan, menghilangkan
rasa kantuk dan meningkatkan energi. Meningkatnya energi setelah mengkonsumsi
kopi merupakan akibat dari aktivitas senyawa yang terkandung di dalam kopi,
salah satunya yaitu kafein.
Kafein merupakan senyawa hasil metabolisme
sekunder golongan alkaloid dari tanaman kopi dan memiliki rasa yang pahit. Kafein termasuk ke dalam kelompok senyawa
yang disebut xanthine. Struktur kafein mirip dengan struktur senyawa
turunan xanthine lain yaitu adenin. Adenin sendiri merupakan penyusun senyawa
ATP (Adenosin Trifosfat). Molekul kafein yang secara struktur mirip dengan adenosin
akan mengikat reseptor adenosin dan menghalangi sel otak untuk mengikat adenosin. Kafein akan membalikkan semua kerja adenosin, sehingga
tubuh tidak lagi mengantuk dan hati akan melepas gula ke aliran darah yang akan
membentuk energi ekstra.
1.2
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana Senyawa Kafein yang terkandung di dalam Kopi?
2.
Bagaimana reaksi kafein dalam tubuh?
1.3
Tujuan
1.
Mengetahui Senyawa Kafein yang terkandung di dalam Kopi.
2.
Mengetahui reaksi kafein dalam tubuh.
PEMBAHASAN
Kafein
termasuk ke dalam kelompok senyawa yang disebut xanthine. Nama resmi kafein adalah 1,3,7- trimethylxanthine
(Stoker 2011). Struktur kafein mirip dengan struktur senyawa turunan xanthine lain yaitu adenin. Adenin sendiri merupakan penyusun senyawa ATP (Adenosin Trifosfat),
yaitu senyawa penghasil energi bagi tubuh manusia (Anonim, 2012). Kafein berbentuk
kristal dan berasa pahit yang bekerja sebagai obat perangsang psikoaktif dan diuretik ringan. Kafein dijumpai secara
alami pada bahan pangan seperti biji kopi, daun teh, dan mate. (Suriani, 1997). Kafein dalam kopi terdapat dalam bentuk ikatan kalium kafein
klorogenat dan asam klorogenat. Ikatan ini akan terlepas dengan adanya air
panas, sehingga kafein dengan cepat dapat terserap oleh tubuh (Mahendradatta,
2007).
Kafein merupakan zat antagonis non spesifik bagi reseptor adenosin,
yang disebarkan secara luas di korteks (Ryan dkk., 2001). Kafein bekerja sebagai
stimulan dengan cara mengurung reseptor adenosin untuk menghambat kerja
neurotransmiter tersebut (Ramachandran, 2002). Kafein menghalangi adesonin
untuk berfungsi dan bekerja sebagaimana mestinya, sehingga menyebabkan performa
kognitif seorang individu meningkat. Selain itu, kafein juga akan menaikkan permukaan dopamin di
otak. Dopamin merupakan neurotransmitter yang berperan mengatur gerakan dan membentuk
ingatan sehingga dengan meningkatnya dopamin maka performa ingatan pun akan
meningkat (Nelson and Gilbert, 2005).
Kafein sering digunakan sebagai perangsang kerja jantung dan
meningkatkan produksi urin. Dalam dosis yang rendah kafein dapat berfungsi
sebagai bahan pembangkit stamina dan penghilang rasa sakit (Suriani, 1997).
Menurut Gilbert
& Rice (1991), kafein merupakan zat kimia yang berpotensi menyebabkan
gangguan perkembangan janin, tetapi masih dikonsumsi oleh sebagian besar ibu
hamil di Amerika Serikat. Kenyataan serupa mungkin juga terjadi di Indonesia. Selain itu, kafein
memiliki sifat sebagai agensia teratogenik yang tidak spesifik sehingga
dimungkinkan menyebabkan timbulnya jenis cacat lain yang dijumpai pada berbagai
sistem organ.
Kafein yang masuk ke dalam tubuh
mudah terbawa aliran darah dan masuk ke otak melewati membran penghalang
antara darah dan otak. Di otak, terdapat reseptor adenosin. Molekul kafein yang
secara struktur mirip dengan adenosin akan mengikat reseptor adenosin tersebut dan
menghalangi sel otak untuk mengikat adenosin. Oleh karena itu, kafein bertindak sebagai inhibitor kompetitif.
Adenosin ditemukan di setiap bagian tubuh karena berperan dalam metabolisme
energi-ATP dan diperlukan untuk sintesis RNA. Adenosin pada otak befungsi melindungi otak
dengan menekan aktivitas saraf dan meningkatkan
aliran darah pada otot (Anonim 2012).
Konsentrasi adenosine pada otak dijaga agar tetap dalam jumlah yang seimbang, karena itu
secara alami tubuh kita akan mengirimkan sinyal “mengantuk” jika kadar adenosin meningkat. Konsumsi kafein dalam jumlah
banyak dan berlebih menyebabkan reseptor adenosin akan mengikat kafein sehingga
otak terus menerus mengirimkan sinyal untuk meningkatkan aliran darah ke otot dan jantung. Kafein bekerja di
dalam tubuh dengan mengambil alih reseptor adenosin dalam sel saraf yang akan
memacu produksi hormon adrenalin atau epinefrin dan menyebabkan peningkatan
tekanan darah, sekresi asam lambung, dan aktifitas otot, serta perangsangan
hati untuk melepaskan senyawa gula pada aliran darah untuk menghasilkan energi ekstra
(Siswono, 2001).
Selanjutnya, setengah dari
kandungan kafein yang diminum ternyata bisa bertahan beberapa jam dalam tubuh sehingga membuat mata
susah terpejam. Kalaupun dipaksa, kualitas tidur akan berkurang dan terus akan menumpuk
selama terus
mengonsumsi kafein sehingga mengurangi kadar vitalitas tubuh. Pada saat inilah
sudah terjadi ketergantungan terhadap kafein, sekali saja terlepas dari
stimulasinya maka tubuh akan mudah merasa lelah dan depresi. Kalau
begitu, bisa dipahami kafein termasuk zat berbahaya yang bias merugikan bila
dikonsumsi tanpa kendali (Anonim 2012).
Efek stimulan
kafein tergantung dari kadar kafein dalam plasma. Kenaikan tekanan darah yang
terjadi pada setiap penambahan konsumsi kopi (cangkir) berbanding terbalik
dengan jumlah kopi yang sudah dikonsumsi. Hal tersebut berarti kenaikan tekanan
darah yang terjadi setelah meminum kopi pada cangkir yang kedua atau ketiga akan lebih
rendah dibandingkan saat meminum kopi pada cangkir yang pertama. Efek tersebut
terjadi karena reseptor adenosin yang ada sudah jenuh dengan konsentrasi kafein
dari kopi yang dikonsumsi pertama kali kafein yang dikonsumsi setiap hari hanya
menyebabkan efek toleransi secara parsial. Kafein tetap memberikan pengaruh
peningkatan tekanan darah, baik pada populasi yang tidak terbiasa minum kopi,
peminum ringan, sedang ataupun berat (James, 2004).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Pharmacology
of Caffeine. http://www.news-medical.net/health/ Caffeine Pharmacology-(Indonesian).aspx. (Di akses pada 22 September 2017).
Fredhlom, Bertil. B. 1999. http://pharmrev.aspetjournals.org/content /51/1/83.full. (Di
akses pada 22 September 2017)
Gilbert, S.G. & D.C. Rice., 1991. The
effects of in utero exposure to caffeine on infant monkeys. Teratology 43:498.
James J.E.
2004. Critical Review of Dietary Caffeine and Blood Pressure: A RelationshipThat
Should Be Taken More Seriously. Psychosomatic Medicine.
Mahendradatta, Meta., 2007. Pangan Aman Dan Sehat. Makassar : Lembaga
Penerbitan Universitas Hasanuddin.
Michal Vilímovský (EN). 2014. https://medlicker.com/723-zoloft-caffeine-interactions (Di akses pada 22 September 2017)
Mumin
A, Kazi F A, Zainal A, Zakir H. 2006. Determination and Characteri zation of Caffeine in Tea, Coffee, and Soft Drink
by Solid Phase Extraction and High Performance Luquid Chromatography (SPE –
HPLC). Malaysian Journal of Chemistry.
Nelson, Aaron P., Ph.D., M.D.,
Gilbert, Susan., 2005. The Harvard Medical School Guide to Achieving
Optimal Memory. New York: McGraw Hill.
Ramachandran,
V.S., 2002. Encyclopedia of The Human Brain Vol. 4. New
York: Academic Press, Inc.
Ryan, Lee., 2001. Caffeine Reduces Time-of-Day Effect on Memory
Performance in Older Adult. Psychological
Science: A Journal of the American Psychological Society, No.1, Januari 2002,
13.
Siswono. 2001.
Bahaya Kolesterol Tinggi. www.gizi.net (Diakses pada 22 September 2017).
Suriani., 1997. Analisis Kandungan Kofeina Dalam Kopi Instan Berbagai
Merek yang Beredar di Ujung Pandang. Makassar : Universitas Hasanuddin.
0 komentar: